Perlu Sosialisasi Pencegahan Korupsi dan Gratifikasi

Jika kita kilas balik, kepemimpinan MA Agung di bawah nahkoda Prof. Sunarto, sudah berjalan satu tahun terhitung setelah terjadi suksesi 16 Oktober 2024 dari Prof. Syarifuddin, yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia di hadapan Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI (purn) H. Prabowo Subianto pada hari Selasa, 22 Oktober 2024 pukul 10.00 WIB, di Istana Negara, Jakarta.
Mahkamah Agung sehari setelah penyumpahan tersebut, merelease "Amar putusan:
- Kabul kasasi penuntut umum
- batal judex facti, terbukti dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP,” tulis MA dalam situs resminya, Rabu 23/10/2024, kaitannya dengan putusan bebas Roland Tanur.
Bersamaan hari itu juga, Kejagung melakukan OTT terkait kasus suap yang dilakukan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, pada Rabu 23 Oktober 2024. Berita tersebut saat itu tentu bak petir di siang bolong dan bahkan sehari kemudian pejabat ex. Kabalitbang Diklat Kumdil MA RI juga terciduk oleh Kejagung, sungguh ironi peristiwa ini terjadi disaat pembangunan zona integritas untuk mewujudkan wilayah bebas dari korupsi (WBK) yang sedang gencar-gencarnya digalakkan di semua lingkungan peradilan.
Jelas peristiwa itu sangat mencoreng, menciderai korps peradilan dan hakim secara keseluruhan yang dilakukan oleh oknum. Tentu saja hal ini selain memalukan juga sangat memilukan bagi insan peradilan.
Penyebab Korupsi
Ada baiknya kita mengenali prima causa atau akar penyebab korupsi. Kata Ibnu Khaldun, sejarawan dan pemikir muslim asal Tunisia ketika menulis masalah ini sekitar abad ke-14H, lantaran nafsu hidup. Kalangan kelompok berkuasa memiliki nafsu hidup untuk bermewah-mewah, katanya. Untuk menutupi pengeluaran yang serba mewah itulah, mereka yang berkuasa melakukan korupsi suap, gratifikasi (Robert Klitgaart, 1988).
Meski dirancang oleh pelaku sedemikian rupa, dengan gerak-geriknya yang rahasia, cenderung melibatkan lebih dari satu orang, ciri-ciri atau indikator korupsi tetap bisa terlacak oleh aparat penegak hukum.
Penyebab korupsi disampaikan Donald R Cressey dalam teori Fraud Tiangle. Teori Segitiga Kecurangan ini melihat potensi kecurangan yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk lingkungan sekitar. Menurut Cressey, ada tiga faktor yang membuat seseorang melakukan korupsi, yaitu:
Pressure (tekanan)
Memiliki motivasi untuk melakukan tindakan korupsi karena adanya tekanan, salah satunya karena motif ekonomi. Namun, tekanan ini kadang tidak benar-benar ada, hanya pelaku saja yang berpikir kalau mereka merasa tertekan dan tergoda pada bayangan insentif.
Opportunity (kesempatan)
Adanya kesempatan membuat seseorang tergiur untuk korupsi. Ini terjadi akibat dari lemahnya sistem pengawasan yang pada akhirnya menjerumuskan pelaku melakukan korupsi.
Rationalization (rasionalisasi)
Para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini ternyata dapat menipiskan rasa bersalah yang dimiliki pelaku dan merasa dirinya tidak mendapatkan keadilan. Sebagai contoh "saya korupsi karena tidak digaji dengan layak". Sebagaimana yang diutarakan Cressey, korupsi terjadi kalau ada kesempatan melakukannya. Tak heran, jika banyak yang melakukan tindakan culas tersebut.
Sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi bisa dikategorikan menjadi 7 jenis yaitu merugikan keuangan negara, suap menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan serta gratifikasi.
Penting untuk mengajarkan prinsip-prinsip integritas dan transparansi sejak dini agar generasi mendatang menjadi garda terdepan dalam mencegah korupsi.
Berikut tips mencegah korupsi sejak dini:
1. Pendidikan Etika dan Nilai-Nilai Integritas
Pendidikan adalah kunci dalam membangun kesadaran terhadap pentingnya integritas. Sekolah dapat memasukkan kurikulum yang mengajarkan tentang nilai-nilai moral, etika, dan integritas, serta memberikan contoh nyata tentang pentingnya perilaku yang jujur dan transparan.
2. Peran Keluarga dan Lingkungan Sosial
Keluarga dan lingkungan sosial memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak-anak. Dukungan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan transparansi sangatlah krusial.
3. Pengenalan Keterbukaan dan Akuntabilitas
Menanamkan pemahaman bahwa bertanggung jawab atas tindakan adalah hal yang utama. Anak-anak perlu diberitahu bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif, serta harus siap bertanggung jawab atas perbuatannya.
4. Memberikan Teladan
Orang dewasa, terutama tokoh-tokoh yang dihormati oleh anak-anak, harus menjadi contoh teladan dalam berperilaku jujur dan transparan. Ketika mereka melihat figur otoritatif mereka bertindak dengan integritas, anak-anak akan lebih cenderung meniru perilaku tersebut.
5. Penguatan Hukum dan Sistem Pengawasan
Membangun sistem hukum yang kuat dan mekanisme pengawasan yang efektif adalah langkah krusial dalam mencegah korupsi. Memastikan bahwa pelaku korupsi mendapat hukuman yang setimpal dan adil dapat menjadi contoh yang kuat bagi masyarakat, termasuk generasi muda.
6. Peningkatan Kesadaran Sosial
Kampanye sosial yang mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, tentang bahaya dan dampak negatif dari korupsi sangatlah penting. Melalui media sosial, seminar, dan kegiatan lainnya, kesadaran akan pentingnya integritas dapat ditingkatkan.
7. Penguatan Keterlibatan Masyarakat
Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan proses transparan dapat mengurangi kesempatan untuk praktik korupsi. Partisipasi aktif dalam proses-proses publik juga mengajarkan nilai-nilai demokrasi dan tanggung jawab sosial.
Sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut di atas, gratifikasi adalah salah satu dari 7 bentuk tindakan korupsi, untuk itu perlu diketahui pula pencegahannya.
Cara Mencegah Gratifikasi
Di bawah ini beberapa cara mencegah gratifikasi:
Meningkatkan kesadaran
Meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai gratifikasi dan bahayanya, serta memperkuat integritas dan etika kerja penyelenggara negara.
Menerapkan sistem pengendalian gratifikasi
Menerapkan sistem pengendalian gratifikasi yang efektif dan transparan, seperti pemeriksaan laporan harta kekayaan, pemeriksaan kepatuhan, dan pemeriksaan internal.
Menghindari konflik kepentingan
Menghindari konflik kepentingan dengan tidak menerima pemberian dari pihak yang terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban.
Menolak gratifikasi
Menolak gratifikasi yang diberikan oleh pihak yang terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban.
Menerapkan sanksi
Menerapkan sanksi yang tegas dan efektif bagi pelaku gratifikasi, seperti sanksi pidana berupa penjara dan denda.
Cara-cara di atas dapat membantu mencegah gratifikasi dan memperkuat integritas dan etika kerja penyelenggara negara. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai gratifikasi, menerapkan sistem pengendalian gratifikasi, menghindari konflik kepentingan, menolak gratifikasi, dan menerapkan sanksi yang tegas dan efektif bagi pelaku gratifikasi dapat menjadi langkah-langkah yang efektif dalam mencegah gratifikasi.
Ada yang mendesak untuk diperjuangkan oleh seluruh komponen (bangsa) supaya mendorong disahkannya UU perampasan aset untuk memiskinkan koruptor dan penerima gratifikasi, agar memberi efek jera karena penjara sudah menjadi tempat peristirahatan yang nyaman.
Semoga MA sukses mewujudkan visi peradilan yang Agung.
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in
Wass ww Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart
Jambi, 18 November 2025
Dr. Chazim Maksalina, M.H.
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas



