Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Jl. KH. Agus Salim, Kota Baru - Jambi

Telp. 0741-40131, Fax. 0741-445293, Email : ptajambi@yahoo.com

Logo Artikel

7269 BERKONTEMPLASI IHWAL SANTRI DAN PESANTREN

Berkontemplasi Ihwal Santri dan Pesantren

GEDUNG PTA OK

  

Bagi penulis berkontemplasi ihwal santri dan pesantren tidak cukup hanya satu tulisan. Oleh karena itu menyambung tulisan sebelumnya tentang (sejarah) hari santri nasional, penulis mengajak kepada pembaca untuk merenung kembali dunia santri dan kepesantrenan.

Santri dan Tanggung Jawab Peradaban Global

Santri masa kini tidak lagi hidup dalam ruang terbatas antara ndalem kiai dan bilik pesantren semata. Ia hidup di era global di mana pengetahuan, budaya, dan nilai-nilai melintas batas tanpa sekat. Namun, justru di tengah arus globalisasi inilah jati diri santri diuji, apakah menjadi penonton zaman, atau menjadi pengarah arus peradaban.

Pesantren sejak awal berdiri telah menanamkan nilai universal Islam: bahwa setiap ilmu, amal, dan adab harus bermuara pada kemaslahatan umat manusia. Inilah warisan besar dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari dan para ulama Ahlussunnah wal Jama‘ah bahwa Islam tidak menutup diri dari dunia, tetapi hadir untuk menata dunia dengan nilai ilahiah dan hikmah insaniyah.

Tanggung jawab santri dalam konteks global bukan hanya menjaga tradisi, tetapi mentransformasikan tradisi menjadi solusi peradaban modern. Ilmu pesantren yang berakar pada al-Qur’an, Hadis, dan turats tidak boleh berhenti pada hafalan dan pengulangan,

tetapi harus diolah menjadi inspirasi baru bagi etika teknologi, ekonomi yang berkeadilan, dan ekologi yang berkelanjutan.

Dalam perspektif tauhid, santri memahami bahwa seluruh ciptaan Allah saling terhubung.

Maka, merawat bumi, menghormati perbedaan, dan menegakkan keadilan bukanlah isu sekuler, tetapi tanggung jawab keagamaan manifestasi iman kepada Allah yang menciptakan semesta.

Santri yang sejati bukan hanya faqih fi al-din, tetapi juga faqih fi al-waqi‘ paham terhadap realitas zamannya, mampu membaca tanda-tanda sosial dan budaya sebagai bagian dari dakwah.

Dengan bekal adab, ilmu, dan kebijaksanaan, santri dituntut untuk menghadirkan wajah Islam yang ramah, rasional, dan rahmatan lil ‘alamin di panggung dunia.

Pesantren telah mengajarkan keseimbangan:

antara ilmu dan amal, antara dzikir dan pikir, antara iman dan kemanusiaan.

Keseimbangan inilah yang menjadi fondasi peradaban global yang manusiawi. Ketika dunia dilanda krisis moral dan spiritual, santri hadir bukan untuk menghakimi,

tetapi untuk menyembuhkan luka kemanusiaan dengan hikmah Islam dan kasih universal.

Maka, tanggung jawab santri hari ini adalah menjadi penutur nilai-nilai langit dalam bahasa bumi: Menyuarakan keadilan sosial, memperjuangkan perdamaian lintas bangsa dan memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mematikan nilai-nilai kemanusiaan.

Santri bukan hanya penjaga masa lalu, tetapi pengukir masa depan. Ia tidak hanya mewarisi pesantren, tetapi mewarisi tugas kenabian:

menebar rahmat, menegakkan kebenaran, dan menjaga agar peradaban dunia tetap berporos pada nilai ilahiah.

Refleksi Epistemologi dan Moral, Atas Eksistensi Santri Sebagai Subyek Peradaban

Peringatan Hari Santri tidak sekadar momentum seremonial untuk mengenang sejarah, tetapi merupakan refleksi epistemologis dan moral atas eksistensi santri sebagai subjek peradaban.

Santri bukan hanya pewaris tradisi keilmuan Islam klasik, tetapi juga pelaku pembaharuan yang menjembatani antara turats (warisan keilmuan) dan tajdid (pembaruan kontekstual).

Secara epistemologis, santri memiliki cara pandang khas terhadap ilmu dan kebenaran. Ilmu dalam pandangan santri bukan sekadar akumulasi pengetahuan rasional, tetapi juga pancaran cahaya (nur) yang menuntun manusia menuju kebenaran ilahiyah. Santri belajar bukan hanya untuk tahu (ta‘allum li al-ma‘rifah), tetapi untuk menjadi (ta‘allum li al-‘amal).

Maka epistemologi santri berakar pada keterpaduan antara ‘aql (akal), qalb (hati), dan adab (etika).

Pesantren sebagai ruang epistemik tumbuh dari kesadaran bahwa ilmu tanpa adab adalah kegelapan, dan adab tanpa ilmu adalah kebingungan. Karena itu, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari Menegaskan dalam Adabul ‘Alim wal Muta‘allim(kitab karya beliau) bahwa kemuliaan ilmu hanya dapat diraih oleh orang yang memuliakan ilmu, guru, dan proses pencariannya. Di sinilah epistemologi pesantren menjadi dasar moralitas: ilmu harus melahirkan akhlak.

Dari sisi moralitas, santri diajarkan untuk menjadikan ilmu sebagai jalan pengabdian. Santri tidak berhenti pada tataran intelektual, tetapi menyalakan moral sosial yang menumbuhkan keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab terhadap bangsa.

Seorang santri sejati tidak menara gading, tetapi menara nurani   yang mampu menebarkan cahaya dalam gelapnya zaman.

Hari Santri menjadi ajakan untuk kembali pada dua kesadaran besar:

1.Kesadaran epistemologis, bahwa mencari ilmu adalah ibadah, bukan sekadar prestasi akademik.

2.Kesadaran moral, bahwa menjadi santri berarti menjadi penjaga nilai, bukan sekadar penghafal teks.

Ketika dua kesadaran ini menyatu, lahirlah insan ‘ Alim yang beradab, Faqih yang berakhlak, dan Mujahid yang berjiwa kebangsaan. Itulah wajah ideal santri yang diharapkan mampu membangun peradaban dengan ilmu yang berakar pada wahyu, dan moral yang berpijak pada rahmat bagi semesta alam.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 24 Oktober 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.

 


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas