Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Jl. KH. Agus Salim, Kota Baru - Jambi

Telp. 0741-40131, Fax. 0741-445293, Email : ptajambi@yahoo.com

Logo Artikel

7242 MEMBACA

Membaca

GEDUNG PTA OK

 

Satu-satunya agama baik agama samawi (langit) dan agama aradhi (bumi) yang kitab sucinya didahului dengan kata perintah membaca hanyalah Islam, Iqra' (bacalah), demikian bunyi ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi saw di gua Hira. Ini mengartikan betapa amat pentingnya membaca itu, baik membaca ayat qauliyah tersurat (literatur) maupun ayat kauniyah tersirat (alam semesta).

Kita akan menelisik pentingnya membaca dari sudut pandang Bambang Sugiharto pakar filsafat dan seorang post-modernisme bagaimana beliau menjabarkan arti kedalaman membaca.

Tulisan ini bisa bersambung dalam dua atau bahkan tiga kali karena cukup panjang, untuk itu kepada pembaca agar bisa sabar.

Menurut beliau lemahnya budaya-baca-tulis membuat masyarakat akan bermental kawanan; lemah secara individual, dangkal, dan mudah dimanipulasi kekuasaan.

Berdasarkan penelitian PISA (Programme for International Student Assesment) belum lama ini, anak-anak muda Indonesia ternyata umumnya buta huruf, bukan dalam arti secara harfiah tidak bisa membaca, melainkan buta huruf secara fungsional, functionally illiterate. Artinya, mereka bisa membaca, namun kemampuan mencerna dan mengolah isi bacaan menjadi visi pribadi itu rendah sekali. Dengan kata lain, yang rendah adalah kemampuan analisis dan sintesisnya. Lebih lugas lagi, daya-baca mahasiswa tahun pertama di Indonesia ternyata hanya setara dengan kemampuan siswa kelas 3 SMP di negara-negara maju.

Dari pengalaman beliau mengajar selama 35 tahun, beliau harus mengatakan bahwa penilaian PISA itu betul. Bahkan pada tingkat S3 sekalipun, tulisan mahasiswa calon doktor seringkali demikian buruk, hingga terpaksa harus bekiau perbaiki bahasa dan alur nalarnya. Kemampuan menulis yang buruk itu berkorelasi dengan budaya membaca yang memang rendah.

Masalah yang lebih serius adalah, daya-baca yang rendah itu berakibat fatal. Di antaranya yaitu: (1) pikiran menjadi picik dan dangkal; apalagi di media sosial, orang cenderung bereaksi secara impulsif dan emosional, tak reflektif, bahkan latah. Bila seseorang berkomentar ke arah “A”, semua akan berkomentar serupa. Akibatnya, (2) mudah terhasut; (3) oversensitif; (4) tak punya pendapat/sikap pribadi; atau kalaupun punya, pendapatnya seringkali klise, tak memperlihatkan pengolahan pikiran secara personal; (5) bermental kawanan (massif); (6) sikap serba hitam-putih dan dogmatis sekali, hanya seputar benar atau salah, boleh atau tidak boleh, ada gunanya atau tidak. Tidak banyak yang memiliki kedalaman dan kelenturan reflektif; (7) kepribadian umumnya mentah, tanpa integritas, sementara pengetahuan pun dangkal, hanya sebatas hafalan. Itu semua merupakan dampak-jauh dari rendahnya budaya membaca.

Masalah ini memang memiliki akar sejarah yang panjang. Di dunia Barat, budaya-baca-tulis itu telah dibentuk dalam periode yang sangat lama, sekurang-kurangnya sudah sejak kemunculan teknologi cetak Gutenberg pada Abad ke-16-an. Sejak itulah terjadi demokratisasi pengetahuan, sebab buku-buku tersedia bagi semua orang, dan orang mulai mengembangkan sikap reflektif serta nalar kritis dengan membiasakan diri membaca. Bila dihitung, tradisi membaca di Barat itu sudah berlangsung lebih dari 400-an tahun. Jadi, sebelum mereka masuk ke kultur digital atau budaya gambar atau budaya tontonan masa kini yang cenderung menawarkan tulisan serba singkat dan ringan, mereka telah dibentuk oleh kebiasaan membaca tulisan-tulisan panjang dan buku-buku tebal (thick books). Mereka telah melalui budaya baca-tulis yang membiasakan berpikir mendalam.

Dengan ini, saya tidak hendak mengatakan bahwa di Indonesia tidak pernah ada karya tulis (seperti sering disalahpahami orang). Tentu saja di Indonesia pun karya tulis purba sudah ada sejak ribuan tahun lalu dalam rupa prasasti, naskah lontar, dan sebagainya. Yang belum sempat terbentuk dengan matang di Indonesia adalah budaya baca-tulis sebagai paradigma umum atau pola perilaku atau kebiasaan utama masyarakat.

Di negara-negara maju, budaya baca-tulis yang telah sedemikian merakyat itu adalah fondasi bagi berkembangnya sikap reflektif dan pola pikir kritis ilmiah modern. Di Indonesia, ketika budaya baca-tulis modern belum lagi terbentuk cukup matang, kita sudah langsung melompat kepada budaya tontonan dan media sosial, yang sangat mengandalkan gambar dan diam-diam menyeret kita kembali ke suasana budaya lisan-tontonan.

Alhasil, kultur digital , internet dan media sosial bagi kita hanyalah semacam kepanjangan budaya bergosip di warung saja. Tampangnya berbeda, tapi isinya sama: warungnya saja yang menjadi digital. Maka media sosial cuma menjadi tempat nongkrong, jual-tampang, bergosip, atau berbelanja saja. Belajar mengeja dan membaca secara agak merata (tidak elitis) baru kita alami ketika pendidikan dasar mulai merata, dan itu sebetulnya baru sejak era Reformasi 1998—artinya baru sekitar 20 tahunan, demikian beliau berujar.

Yang penting dari budaya membaca adalah proses pematangan individu. Maka, kalau ada kesan bahwa membaca itu sekadar soal hobi, tentu keliru. Membaca bukan sekadar perkara hobi. Ini soal paradigma kultural, soal perilaku-umum yang sebenarnya sangat penting bagi kemajuan suatu negara dan pertumbuhan individu-individu agar semakin berdaya. Ketika budaya baca itu terlewat, maka masyarakat akan tetap bermental kawanan; secara individual lemah, dangkal, dan mudah dimanipulasi oleh kekuasaan. Jadi, ini soal pemberdayaan individu.

Pentingnya membaca sekurang-kurang bisa dilihat dari dua aspek.

Pertama, aspek informatif: membaca sebagai kegiatan menghimpun informasi.

Kedua, aspek formatif: membaca sebagai proses pembentukan daya pikir dan pemberdayaan individu.

Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 24 September 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.

 


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas

kees.php'); } ?>