HUT Mahkamah Agung RI ke 80
Hari ini 20 Agustus 2025 adalah tahun kedua penulis mencatatkan goresan hariannya yang dulu diberi judul Renungan kemudian berubah menjadi Wacana. Tulisan ini hanya ekspresi spontanitas dari unek-unek penulis, yang mencoba untuk menulis dengan sederhana dan mudah dicerna dengan topik sekenanya. Harapan penulis kebiasaan ini tetap menjadi habit khususnya untuk penulis. Kebiasaan menulis ini diawali pada 20 Agustus 2024 saat penulis bertugas di PTA Gorontalo yang kebetulan saat mulai menulis berdekatan dengan ulang tahun kemerdekaan RI dan ulang tahun MA RI.
Tema HUT MA RI ke 80 tahun 2025 kali ini, "Pengadilan Bermartabat, Negara Berdaulat". Tema ini menyoroti hubungan erat antara integritas lembaga peradilan dan kedaulatan sebuah negara. Tema ini menarik sekaligus mengusik hati kita yang berpuluh tahun berkecimpung di blantika peradilan (baca Pengadilan Agama). Pertanyaannya benarkah peradilan kita sudah bermartabat sehingga mengukuhkan negara menjadi berdaulat. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini tentu memerlukan pembahasan komprehensif dan menyeluruh dari insan peradilan terlebih bagi hakim sebagai penegak hukum.
Pada pidato sambutan HUT MA RI ke 80, Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. menyampaikan bahwa pengadilan yang bermartabat adalah pengadilan yang menjaga independensi dan integritas, serta memberikan keadilan secara adil dan setara bagi siapa pun. Ia mengutip pesan Presiden Soekarno yang menyebut MA sebagai "benteng terakhir dari keadilan."
Sayangnya meskipun telah dibarengi aktif berkampanye dengan slogan dan jargon yang muluk, namun kenyataan dalam pelaksanaan, dalam memberikan pelayanan dan terlebih dalam memberikan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan belum sesuai harapan.
Aparat hukum dan hakim diwajibkan memberi hukum dan keadilan sebagaimana diamanahkan dalam UU Nomor 48 Thn 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU turunannya. Oleh karena itu seiring dengan tugas pokok hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara harus clean and clear area artinya tuntas dan jelas tidak menimbulkan penafsiran baru apalagi multi tafsir, sehingga tidak bisa memberi kepastian hukum, karena tidak dapat dieksekusi. Kali ini penulis akan lebih menekankan pada integritas, imparsialitas dan independensi yang harus dimiliki bagi setiap hakim dalam menjalankan tugas kesehariannya.
Beberapa hari yang lalu penulis telah membahas dalam dua tulisan tentang integritas (Integritas Sebagai Pakaian Aparat dan Memaknai Kembali Pakta Integritas) oleh karena itu, pertama pada kesempatan kali ini penulis hanya ingin menegaskan kembali bahwa integritas adalah menunjukkan konsistensi antara ucapan dan keyakinan yang tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Lebih mudah dipahami adanya keselarasan, kesuaian antara kata hati, ucapan dan perbuatan. Di sanalah jati diri seorang hakim berada dalam bingkai keintegritasannya. Jika dia mampu mengaktualisasikan dalam tugas pokok sehar-hari, sebagai seorang hakim ia akan mampu memberikan hukum yang benar dan keadilan bagi pencari keadilan.
Kedua, adapun imparsialitas adalah ketidakberpihakan, kenetralan, serta sikap tanpa bias dan prasangka dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dengan adanya asas imparsialitas (tidak memihak), hakim di dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara harus obyektif dan netral serta tidak berpihak kepada siapapun kecuali kepada hukum dan keadilan. Dalam putusan-putusan pengadilan bisa dilihat sejauh mana imparsialitas dilaksanakan hakim.
Tampaknya di tingkat implementasi masih sulit. Sulit bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya jika pengadilan masih tergantung dalam pemenuhan kebutuhan keuangan maupun sarana dan prasarana. Kebebasan badan peradilan, menurut almarhum Prof. Efendy Lotulung mantan Hakim Agung dan Ketua Muda MA Peradilan Tata Usaha Negara, memerlukan kondisi-kondisi yang menunjang yaitu, dalam memutus perkara tidak dipengaruhi tekanan-tekanan dan badan peradilan harus mempunyai kompetensi dan yurisdiksi atas segala persengketaan yang bersifat yuridis. "A judge must be impartial and should be seen that he is impartial."
Ketiga, indepedensi, adalah kondisi kemerdekaan hakim yang bebas dari intervensi dan campur tangan eksekutif dan unsur dari luar lainnya. Dengan independensi itulah seorang hakim dijamin sepenuhnya untuk memutus suatu perkara sesuai hati nuraninya tanpa bisa dipengaruhi oleh siapapun dan apapapun dari luar dirinya.
Meskipun independen hakim dijamin oleh undang-undang namun ia tidak berarti bebas sebebasnya, independensi hakim harus dimaknai dengan kebebasan yang dibatasi oleh undang-undang dan aturan lainnya.
Oleh karena itu hakim dalam melaksanakan tugas harus teliti, cermat dan selalu menyandarkan pada hati nurani. Putusan hakim akan dinilai oleh masyarakat luas, apalagi menyangkut kepentingan dan ketertiban umum.
Kebebasan hakim cerminan dari independensi kekuasaan kehakiman. Tapi bukan berarti kebebasan itu tanpa batas karena ada akuntabilitas, profesional, dan imparsialitas yang tetap harus dipegang. Hakim tidak dapat diintervensi dalam memutus perkara, tapi putusannya itu harus akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan) dan bisa diukur (profesionalitasnya).
Akhirnya bersamaan memperingati HUT RI ke 80 dan HUT MA RI ke 80 kemerdekaan harus dimaknai dalam peradilan yaitu kesunghuhan untuk melaksanakan tugas dengan integritas, imparsialitas, dan independen. Dengan ketiga hal tersebut maka martabat pengadilan akan terangkat dan ada relevansinya dengan pesan Bung Karno, jika kelengkapan negara runtuh maka pengadilan adalah benteng terakhir negara. Di sinilah letak negara berdaulat saat pengadilan bertabat. Selamat Hari Ulang Tahun MA RI ke 80.
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart
Jambi, 20 Agustus 2025
Dr. Chazim Maksalina, M.H.
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas