Keadilan Sebagai Kejujuran
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) menegaskan: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 10
(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dari dua pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan ada dua kewajiban sebagaimana seorang hakim, pertama kewajiban menggali dan menemukan hukum yang kedua, hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara dengan alasan hukum kurang jelas.
Merujuk tulisan kemarin, tujuan hukum semata-mata untuk keadilan (Gustav Radbruch - Geny). Sedangkan konsep keadilan yang dikembangkan John Rawls adalah justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran), jadi prinsip keadilan yang paling fair yang harus dipedomani. Menurut John Rawls ada dua prinsip dasar keadilan yaitu keadilan yang formal dan keadilan yang substantif.
Dari prinsip tersebut, maka setiap orang memiliki hak yang sama dengan skema bahwa keadilan itu adalah hak setiap orang, apa dan bagaimanapun status sosial ekonominya.
Menurut Rawls, ada dua kewajiban natural yang penting, yaitu kewajiban untuk mendukung dan mengembangkan institusi yang adil dan kewajiban natural untuk saling menghargai.
Keadilan tidak boleh ditegakkan dengan cara-cara yang tidak adil. Cara-cara yang tidak adil, meskipun dilakukan atas nama keadilan, tetap saja bertentangan dengan esensi keadilan itu sendiri.
Dalam sistem peradilan yang paling sederhana, figur di pengadilan berpusat pada Hakim yang notabene adalah juga penguasa politik. Sistem peradilan demikian juga sangat mengandalkan sifat kharismatik hakim.
Weber membagi tiga tipe otoritas yang niscaya terdapat dalam masyarakat manusia.
Masing-masing tipe otoritas tersebut, menentukan model penyelenggaraan hukum (law-making membuat hukum, law-finding menemukan hukum, law-enforcement menegakkan hukum).
Dalam rezim otoritas kharismatik, tidak terdapat pembuatan hukum. Namun yang ada hanyalah penemuan hukum lewat intuisi dan bisikan supranatural . Akibatnya penerapan hukum hanya mengandalkan kebijaksanaan etis moral yang unik dari tokoh kharismatik. Oleh karena sifatnya sangat individual dan penuh misteri, bisa jadi penerapan hukum didasarkan pada emosi, intuisi dan rasa pribadi sang pengadil.
Dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan, hakim dituntut aktif memahami makna Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni sebagai hakim mempunyai tanggung jawab yang melekat pada tugas sebagai hakim untuk aktif dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
Pelaksanaan tugas hakim adalah dalam rangka mendistribusikan keadilan. Hakim melalui penanganan suatu kasus melaksanakan distribusi keadilan bagi negara atau masyarakat, korban dan juga pelaku.
Pemahaman hukum menurut Satjipto Rahardjo bukan hanya sekedar teks undang-undang, bahwa hukum sebagai dokumen antropologi, namun hendaknya dalam pemahaman hukum tersebut dapat menempatkan manusia ( anthropos ) pada titik pusat. Sikap intelektual ini menjadikan hukum tidak hanya berkisar pada masalah perundang-undangan (binnen de kader van de wet). Hukum adalah masalah manusia dan paradigma di sini adalah hukum untuk manusia. Manusialah yang dipermasalahkan bukan undang-undang. Sikap intelektual demikian akan mendorong terjadinya praksis yang penuh kreatif, inovatif dan progresif.
Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Hukum dalam wujud putusan hakim hanya mengikat pihak-pihak tertentu saja. Hal ini berbeda dengan hukum yang dibuat lembaga legislatif dalam wujud undang-undang yang mengikat secara umum. Sehubungan dengan hukum dalam arti produk lembaga legislatif dan hukum dalam arti putusan hakim memiliki kelebihan dan kelemahan. Undang-undang lebih menjamin kepastian hukum sedangkan kelemahannya adalah lamban dan statis. Melalui putusan-putusan hakim yang berkualitas dan kreatif maka hakim dapat melakukan berbagai terobosan hukum.
Dalam kasus yang rumit diperlukan kemampuan menganalisis, menginterpretasi dan melakukan terobosan hukum untuk mendapat jawaban yang tersedia. Meskipun demikian hakim tidak menjadi pembuat hukum.
Setiap kasus baik yang berat maupun yang ringan, pada hakikatnya unik sehingga memerlukan interpretasi hukum yang baru atau dengan kata lain tidak pernah ada dua perkara yang sepenuhnya serupa.
Menurut Satjipto Rahardjo, hakim sesungguhnya juga membuat hukum pada tingkatan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan hakim memutuskan hukum itu tidak dilakukan dengan membaca teks (textual reading) melainkan menggali moral dibelakangnya (moral reading).
Pelaksanaan tugas hakim dalam rangka memberi keadilan bagi masyarakat dan pencari keadilan maka hakim dapat menggunakan kekuasaan yang luas sebagai judge made law. Apabila perundang-undangan tidak mempunyai jawaban dan tidak pula ada putusan pengadilan mengenai perkara yang sejenis yang akan diputuskan maka hakim akan mencari jawabannya pada pendapat sarjana hukum. Jika pendapat ahli hukum tidak diketemukan untuk dijadikan pedoman oleh hakim untuk memutus perkara maka hakim dibenarkan untuk menemukan hukum dengan jalan interprestasi dan konstruksi hukum, kalau perlu dengan contra legem terhadap pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim.
Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas dan kewajiban, selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya. Profesionalitas seorang hakim dilaksanakan dengan peran aktif dari hakim dalam proses.
Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, seorang hakim melalui metode penemuan hukum berperan aktif melaksanakan judicial activism dalam putusan-putusannya dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis. Tugas hakim dalam mewujudkan keadilan tidak terlepas dari putusan yang dihasilkan.
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia, metode penemuan hukum (rechtvinding) sebagai salah satu atau bentuk tehnis yuridis yang dihasilkan oleh kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowledge and experience).
Sebagai hakim, Holmes memilih untuk mengikuti parameter pengalaman. Melalui pengalaman ini, menurutnya dimungkinkan bagi hakim untuk keluar dari belenggu skema logis. Pengalaman tersebut tidak mempunyai rujukan kepada perundang-undangan, melainkan kepada sesuatu yang lebih spontan dan hakim merasakan hal itu. Scholten mengatakan bahwa dalam putusan-putusan yang dibuat oleh hakim terdapat unsur lompatan, serta tidak percaya bahwa putusan itu hanya dicapai melalui simpulan logis.
Ada dua momentum penting dalam proses pembentukan putusan, yaitu fase heuristis atau context of discovery, yakni proses pencarian mengenai fakta-fakta yuridis yang relevan dan pasal undang-undang atau peraturan hukum yang sesuai dengan mengesampingkan kesan pribadi atau bisikan hati atau ilham pendahuluan yang bisa subjektif.
Hakim yang kuat bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidangnya sekiranya tidak akan banyak mengalami kesulitan dan atau kekeliruan (error facti maupun error iuris) pada fase ini. Namun pada fase legitimasi (contect of justification) khususnya yang didahului kesan pribadi, ilham bisikan hati yang diperoleh secara intuitif besar sekali kemungkinannya menjadi amat subjektif.
Keaktifan hakim menjadi penting dalam rangka mewujudkan keadilan sebagaimana Satjipto Rahardjo dengan mengutip pendapat Paul Scholten bahwa keadilan itu (memang) ada di dalam undang-undang, tetapi (masih) harus ditemukan. Peran aktif dari hakim perlu dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan dalam putusan dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis.
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hakim merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum untuk secara progresif berani menguji sejauh mana batas kemampuan undang-undang itu. Sebagai contohnya, yang dapat dikatakan sebagai hakim progresif adalah Bismar Siregar, Adi Andoyo dan Artijo Alkostar dan Benyamin Mangkoedilaga.
Gambaran hakim yang demikian tidak salah kalau dikategorikan sebagai seorang hakim yang berpikir scientific. Hal ini terlihat di mana beliau tidak semata-mata bekerja untuk membuat dan menetapkan putusan dengan melihat dan menerapkan secara bulat-bulat aturan-aturan hukum yang bersifat abstrak melainkan senantiasa melihat masalah yang dihadapi dalam konteks yang lebih luas. Aturan hukum yang dihadapinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang abstrak dan apa adanya sebagaimana yang tertulis, tetapi dilihatnya sebagai proses yang isi maupun rumusannya bisa saja berubah dari waktu ke waktu sesuai kondisi masyarakat saat itu.
Penemuan hukum bagi seorang hakim ketika sedang menghadapi kinerjanya dalam memecahkan dan memutuskan kasus-kasus yang rumit, pelik, sangatlah penting, dan saat itu pulalah, berbagai persoalan yang berkaitan dengan teori hukum dan filosofi hukum akan selalu timbul dan harus diputuskan dengan cermat, teliti, dan sesuai hati nurani, dengan berbagai disiplin ilmu, perundang-undangan, doktrin, jurisprudensi dan kajiannya secara mendalam, dengan mendasarkan kepada kebenaran dan keadilan berkeadilan.
Apakah penemuan hukum itu sekedar merupakan penerapan hukum (rechtstespassing), yakni memasukkan atau mem-subsumsi-kan fakta posita (premis minor) ke dalam peraturan hukum/undang-undang (premis mayor) secara sillogisme formil untuk selanjutnya ditarik konklusi mana yang benar dan yang salah menurut hukum, sebagaimana dianut oleh aliran positivism hukum karena disadari anggapan bahwa undang-undang itu adalah lengkap dan sempurna untuk menjawab setiap persoalan yuridis;
Konsep hukum progresif menuntut hukum selalu bergerak dalam mengimbangi perkembangan kebutuhan manusia yang membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum. Hukum tidak boleh terbelenggu dalam pola pikir apa yang dikatakan undang-undang melainkan membuka diri dan hati untuk menemukan keadilan.
Peran hakim dalam rangka memberi keadilan bagi masyarakat dan pencari keadilan, ketika menghadapi kasus-kasus yang rumit, komplek maka hakim dapat menggunakan kekuasaan yang luas sebagai judge made law. Apabila perundang-undangan tidak mempunyai jawaban dan tidak pula ada putusan pengadilan mengenai perkara yang sejenis yang akan diputuskan maka hakim akan mencari jawabannya pada pendapat sarjana hukum. Jika pendapat ahli hukum tidak diketemukan untuk dijadikan pedoman oleh hakim untuk memutus perkara maka hakim dibenarkan untuk menemukan hukum dengan jalan interprestasi dan konstruksi hukum, kalau perlu mengadakan contra legem terhadap pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang telah ada. Hakim dapat menjawab segala masalah hukum baru yang muncul melalui judicial activism, dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang.
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart
Jambi, 15 Juli 2025
Dr. Chazim Maksalina, M.H.
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas