Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Jl. KH. Agus Salim, Kota Baru - Jambi

Telp. 0741-40131, Fax. 0741-445293, Email : ptajambi@yahoo.com

Logo Artikel

3900 KETIKA HUKUM ILAHI DIKEDEPANKAN ALAMPUN IKUT BANGGA MELAHIRKAN KEAMANAKENYAMAAN KESEJAHTERAAN DAN KEBAHAGIAAN

Ketika Hukum Ilahi Dikedepankan Alampun Ikut Bangga Melahirkan Keamanan, Kenyamaan, Kesejahteraan dan Kebahagiaan

Ketika Hukum Ilahi Dikedepankan Alampun Ikut Bangga
Melahirkan Keamanan, Kenyamaan, Kesejahteraan dan Kebahagiaan

Oleh : Drs. H. Baidhowi HB, SH

PENDAHULUAN

            Hukum Ilahi terlahir dari wahyu ilahi dalam bentuk rangkaian kalam suci, diturunkan melalui hamba pilihan yang menjadi utusan Ilahi di muka bumi, untuk disampaikan kepada manusia penghuni bumi.

Hukum-hukum dalam bentuk kalam suci, diturunkan dalam bentuk global, berkenaan dengan peristiwa atau kasus yang berkembang ketika itu yang memerlukan pemecahan. Terhadap hal-hal yang belum bisa difahami, maka dipertegas dan diperjelas oleh orang pilihan Ilahi sebagai utusannya, sehingga dengan hadirnya hukum Ilahi, membawa peradaban manusia menjadi peradaban yang manusiawi, beradab dan berkeadilan. Sehingga karenanya pula perilaku yang kuat menindas yang lemah, penguasa bertindak sesukanya, lambat laun semakin menghilang, meskipun hingga saat ini belum sepenuhnya hilang, karena boleh jadi aturan yang dipakai jauh dari konsep bimbingan kalam Ilahi.

Dari latar belakang uraian di atas, mendorong penulis menuangkan dalam sebuah tulisan dengan judul tersebut di atas, yang pembahasannya terurai di bawah ini :

PEMBAHASAN

            Hukum adalah sebuah aturan dalam bentuk titah Ilahiyah untuk dilaksanakan setiap manusia dewasa, baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran dan pilihan hukum. Pertanyaannya adalah mengapa harus ada campur tangan Ilahi dalam menentukan aturan-aturan itu? Bukankah manusia itu sendiri cukup mampu untuk mengatur diri dan komunitasnya, bahkan mengatur segala kehendak manusia manapun.

            Barangkali pernyataan ini ada benarnya, tapi bila dikaji lebih mendalam, siapakah pencipta yang menghidup dan mematikan segala makhluk di alam jagad raya ini? Tentu fikiran kita akan sampai kepada; kalau sang Pencipta selaku penguasa alam yang menciptakan segalanya, maka akan sampailah fikiran kita pada pertanyaan; apa ia tidak berhak dan berkuasa untuk mengatur semuanya sesuai kehendaknya, kenapa? Karena Dia yang Maha Tahu kadar ukuran kemampuan manusia makhluk-Nya. Sehingga Dia tahu titik lemah dan kekuatan manusia itu sendiri dengan berbagai macam tipe, tipu daya, akal budi dan lain-lain karakter manusia itu sendiri, karenanya diperlukan campur tangan-Nya untuk menentukan aturan – aturan yang benar – benar adil, beradab dan manusiawi.

            Berikut kita akan bertanya lagi; Apakah saat ini khusus di negeri yang konon salah satu negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, apakah aturan-aturan yang ada sudah mengedepankan konsep hukum Ilahiyah? Atau lebih mengedepankan konsep hukum untuk kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan golongan, pesanan kelompok tertentu, atau dengan maksud mewujudkan proyek-proyek yang bisa dijadikan bacakan bagi para petinggi negeri ini.

            Jawabannya ; boleh jadi, bila dilihat dari materi aturan maupun latar belakang lahirnya sebuah regulasi itu sendiri, atau boleh jadi para pelaku dalam mengimplementasikan aturan tidak sejalan antara harapan dan kenyataan, karena gersangnya aturan-aturan Ilahiyah yang tersimpan dalam dadanya, maka muncul praktek-praktek dalam tataran implementasi yang menggurita semakin jauh dari konsep regulasi Ilahiyah, barangkali hal ini perlu adanya sebuah kajian untuk direnungkan.

            Dalam tulisan ini penulis tidak mengemukakan contoh regulasi yang mana sebagaimana dimaksud di atas, tapi silahkan kita cermati sendiri dari berbagai regulasi yang ada. Atau kita perhatikan informasi dari berbagai media baik cetak maupun elektronik, boleh jadi membuat kita muak dan ngedumel mendengar dan atau melihat kenyataan yang ada.

            Bila kita mau bercermin dari sejarah masa lalu, ketika utusan Ilahi yang bernama Yusuf ia minta kepada raja Fir’aun (Ramses) untuk diangkat menjadi Menteri Keuangan, mengingat kondisi keuangan negara saat itu mengalami krisis (krisis ekonomi), kemudian setelah diangkatnya Yusuf sebagai pengendali keuangan negara, maka segala kebijakan yang diterapkan yang sejalan dengan konsep tuntunan Ilahiyah, masyarakat yang berada dalam kekuasaan negara saat itu terhindar dari krisis yang dihadapi warga bangsanya saat itu, akan halnya di era beberapa utusan ilahi yang lain, yang di antaranya mereka melenyapkan praktek-prektek ribawi dan lain-lain kezaliman yang mengemuka saat itu, dengan mengeterapkan konsep tuntunan Ilahi, warga masyarkat bangsa merasa aman, nyaman dan sejahtera, hingga masa-masa setelah itu ada masa disebut masa keemasan. Hal ini kita bisa lihat masa keemasan di zaman khalifah Harun Ar Rasyid, lahirnya ilmuan-ilmuan kenamaan, cendikiawan dan beberapa pusat pendidikan, dan memberikan kemudahan bagi mahasiswa untuk belajar dengan dibantu pembiayaan oleh negara saat itu, sehingga melahirkan karya-karya ilmiyah yang mendunia, dan dijadikan rujukan masyarakat sesudahnya. Apakah ini semua lahir dari kehendak dan kepentingan golongan tertentu, terlepas dari konsep tuntunan Ilahi? Hemat penulis semua itu sejalan dan selalu berada dalam koridor konsep Ilahiyah.

            Lalu bagaimana dengan kondisi terkini di masyarakat bangsa kita yang konon berpenduduk muslim terbesar di dunia? Terlepas dari ada yang setuju atau tidak, hemat penulis, aturan – aturan dan pelaksanaannya di negeri ini sudah semakin menjauh dari pemilik kehendak konsep aturan Ilahiyah. Penulis hanya berangkat dari sebuah ilustrasi, bagaimana bangsa ini terbentuk sebelum merdeka, hampir semua pemeluk agama manapun memiliki visi dan missi yang sama, tujuannya “MERDEKA TERBEBAS DARI BELENGGU JAJAHAN” dan hidup merdeka adalah sejalan dengan konsep Ilahi, yakni pembebasan manusia dari hidup dalam perbudakan. Kemudian setelah bangsa ini merdeka dan kondisi saat itu masih terasa dalam kehidupan, selalu berjalan dalam koridor tuntunan konsep Ilahiyah yang tercermin dalam PANCASILA sebagai dasar negara dan dirumuskan dalam Undang-undang Dasar 1945, namun lambat laun seiring dengan berjalannya waktu, dalam tataran implementasi dengan dalih perkembangan situasi, terlihat semakin menjauh dari kondisi hidup dalam tuntunan konsep Ilahiyah, barangkali kita masih ingat peristiwa kejadian G 30 S. PKI. Nyaris ketika itu dasar negara yang dibangun sebelum kemerdekaan, akan menghilang ditelan situasi sehingga konsep tuntunan Ilahiyah akan lenyap dari bumi tercinta nusantara ini.

            Kemudian bila kita lihat dan kita rasakan dalam beberapa dekade terakhir, nampak kehidupan bangsa ini dan bahkan dunia sekalipun, sudah demikian mengglobal. Apa yang terjadi di upuk Barat nampak jelas terlihat dimensi kehidupan di sana dari upuk Timur, begitu juga apa yang terjadi di belahan Utara dunia ini nampak pula terlihat dari belahan bumi bagian Selatan. Apa sesungguhnya yang terjadi? Tidaklah berlebihan bila dikatakan, tingkat kezaliman sudah membuana di manapun, korupsi dan kolusi sudah menjadi budaya, bahkan nyaris dianggap suatu hal yang wajar dan manusiawi, narkoba pun sudah dijadikan budaya pesta, menggurita dari rakyat jelata hingga ke tingkat perwira, apa semua itu tidak terkaver oleh aneka regulasi? Jawabnya ia, tapi apa yang terjadi apakah salah regulasinya atau pembuat regulasi atau mungkin motif dibuatnya sebuah regulasi yang tujuannya tidak sejalan dengan konsep kehendak Ilahi? Semua itu berbentuk sebuah kemungkinan-kemungkinan, yang memerlukan kajian-kajian empiris lebih dalam untuk itu.

            Ada hal lain yang cukup menggelitik pemikiran kita, apakah penguasa yang salah atau pembuat regulasi yang keliru atau masyarakat warga bangsa yang tidak patuh dan atau suatu sistem yang tidak berjalan, atau bahkan ke empat-empatnya sudah seiring dan sejalan bersama sudah tidak perduli lagi dengan kehidupan warga bangsa ini, sehingga yang berjalan apa yang enak dan yang dianggap menguntungkan dari masing-masing pihak tersebut. Kalau hal ini yang terjadi di negeri ini, maka kekacauan dan kehancuranlah yang akan terjadi, lalu pertanyaannya apa yang harus kita perbuat, apa harus dibiarkan berjalan seadanya begitu saja, atau harus ditinjau ulang seluruh regulasi yang sudah ada ?

            Mungkin jawabannya, tidak seluruh regulasi yang harus ditinjau ulang, karena dari sekian banyak regulasi, meski tidak seluruhnya regulasi yang ada dianggap telah memuat nilai-nilai konsep regulasi Ilahiyah, namun yang perlu dibenahi adalah aturan-aturan yang sangat jauh dan bahkan sudah menyimpang jauh dari konsep regulasi ilahiyah, terutama terkait dengan aturan-aturan teknis operasional, seperti hal-hal yang berkait dengan perizinan usaha-usaha yang akan merusak moral masyarkat bangsa ini, merusak alam lingkungan, merusak kehidupan budaya yang dikenal ramah bersahaja dan lain-lain.

           Atau boleh juga manusia pelaksananya yang harus diperbaiki, baik mentalitas, wacana dan pola fikirnya yang positif yang sejalan dengan kehendak konsep regulasi ilahiyah, mulai dari petinggi pemegang kekuasaan negeri ini hingga ke level terbawah, kenapa semua itu yang harus diperbaiki? Karena ada azas rusaknya bangsa suatu negeri disebabkan karena rusaknya moral penguasa negeri itu sendiri, lalu bagaimana memperbaiki dalam tataran implementasi? Kuncinya hanya satu, pegang dan laksanakanlah regulasi Ilahiyah, karena sang pencipta regulasi sendiri yang menjanjikan; “Kalau penduduk warga bangsa yakin, percaya dan melaksanakan regulasi Ilahiyah, maka sang penguasa alam akan menganugrahkan berkah langit dan bumi (alam akan bangga melahirkan keamanan, ketentraman dan kesejahteraan bagi penghuni bumi itu sendiri)”.

KESIMPULAN

            Dari uraian – uraian tersebut di atas, penulis berkesimpulan sebagai berikut :

  1. Sebuah regulasi yang sudah ada dan atau yang akan dibuat, hendaknya mengandung ruh nilai-nilai regulasi Ilahiyah, bukan sarat dengan pesan dan kepentingan orang atau golongan tertentu, termasuk aturan-aturan teknis sebagai aturan mekanis.
  2. Harus adanya kemauan penuh para petinggi/penguasa di tanah air ini, untuk mewujudkan dan merealisasikan regulasi yang bersih dari berbagai kepentingan-kepentingan tertentu.
  3. Harus ada dukungan penuh dari berbagai elemen lapisan masyarakat warga bangsa ini, baik dari tokoh-tokoh agama manapun pengusaha, akademisi, ilmuan dan lain-lain yang dipandang perlu dan ada relevansinya dengan apa yang akan kita perbuat.
  4. Jauhkan dan hindarkan dari pengaruh dunia luar yang akan merusak tatanan kehidupan bangsa kita dari berbagai aspek negatif, lebih mengedepankan berbagai potensi dari kemampuan putera-puteri bangsa dan kekayaan alam bangsa kita sendiri.

 

S A R A N

-          Sepanjang regulasi, aturan dan apapun bentuknya termasuk budaya yang kita adopsi dari luar, yang tidak cocok dengan budaya bangsa ini hendaknya kita kesampingkan dan tidak harus dipaksakan berlaku di negeri ini, lebih-lebih nilai regulasi yang tidak sejalan dengan konsep regulasi Ilahiyah.

-          Hendaknya kita tinggalkan jauh-jauh pola pikir yang menganggap bahwa regulasi Ilahiyah itu suatu regulasi yang statis, tidak sesuai perkembangan kemajuan zaman yang sudah serba canggih dan modern, sebab boleh jadi akal pikiran kita yang tidak cukup mampu melihat lebih jauh ruh dan nilai-nilai yang terkandung dalam regulasi Ilahiyah yang nampak singkat, padat tapi penuh makna dan filusufi yang mendalam.

 

PENUTUP

Demikian, artikel ini kami tulis dalam segala keterbatasan, hal-hal yang boleh jadi ada benar dan manfa’at semua itu kehendak dari sang pencipta, sementara terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar dan keliru, mungkin itu lahir dari faktor subyektifitas pribadi penulis. Terima kasih.                        

                                                                            

                                                                             Jambi, 16 Mei 2016

                                                                             Penulis,

 

                                                                             Drs. H. Baidhowi HB, S.H


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas