Hari Santri Nasional

hari santri

  

Kemarin adalah Hari Santri Nasional (HSN). Hari santri nasional diperingati setiap tanggal 22 Oktober berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang diterbitkan era awal pemerintahan Presiden Jokowi. Berarti sudah berjalan sepuluh tahun.

Hari Santri tahun ini dibarengi nuansa yang getir dan pilu. Dua peristiwa memilukan mencoreng suasana peringatan: pertama, ambruknya bangunan Pesantren Al-Khozini di Buduran, Sidoarjo, sebuah pesantren yang telah berusia 125 tahun, yang menelan korban luka dan jiwa; dan kedua, tayangan kontroversial dari Trans7, yang dianggap menyudutkan dan merendahkan kehidupan santri di pesantren.

Tragedi di Sidoarjo meninggalkan luka fisik dan emosional. Puluhan santri menjadi korban reruntuhan beton, menandakan bahwa keselamatan infrastruktur pendidikan keagamaan masih luput dari perhatian serius. Sementara itu, tayangan Trans7 memicu reaksi keras dari komunitas pesantren yang merasa dilecehkan. Tayangan tersebut dianggap menampilkan gambaran kelam yang tidak merepresentasikan realitas pesantren secara menyeluruh. Namun dalam konteks masyarakat demokratis, penting untuk memahami bahwa tayangan tersebut bisa juga dibaca sebagai bentuk kritik sosial.

Latar belakang ditetapkannya hari santri nasional (HSN) tanggal 22 Oktober karena mengambil momen diserukannya resolusi jihad kepada pemerintah RI dan diberitakannya fatwa jihad kepada para santri, kyai dan masyarakat di seluruh Jawa Madura oleh Hadhratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, RoIs Akbar (Pemimpin Besar) Nahdlatul Ulama (NU), tanggal 22 Oktober 1945, dua bulan lima hari setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Resolusi Jihad dan Fatwa Jihad

Resolusi Jihad dan Fatwa Jihad , keduanya dikeluarkan dalam waktu bersamaan. Perbedaannya adalah Fatwa Jihad ditujukan kepada Nahdliyin dan umat Islam secara keseluruhan, sementara Resolusi Jihad ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang saat itu baru dua bulan diproklamirkan.

Resolusi Jihad fi Sabilillah dan Fatwa Jihad fi Sabilillah diawalii karena adanya kabar  kedatangan pasukan Sekutu yang akan diboncengi tentara NICA. Mereka juga mendengar tentara Sekutu akan menangkap Soekarno dan Moch Hatta.

Malam hari tanggal 21 Oktober 1945, Rais Akbar PBNU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya.

Pada pagi harinya, tanggal 22 Oktober 1945, PBNU mengadakan rapat pleno yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah. Rapat pleno itu mengambil keputusan tentang Fatwa Jihad fi Sabilillah dalam membela tanah air dan bangsa yang diserukan kepada umat Islam. Kedua, menyerukan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia.

Isi Resolusi Jihad

Setelah membaca basmalah, setelah mendengar dan menimbang serta mengingat:

1. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan kejahatan dan kekejaman jang mengganggu ketenteraman umum. 

2. Bahwa semua yang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia dan agama, dan ingin kembali menjajah di sini maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia. 

3. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan oleh umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan kemerdekaan negara dan agamanya. 

4. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu perlu mendapat perintah dan tuntunan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut. 

Memutuskan:

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya. 

2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam.                          Surabaya, 22-10-1945      

Isi Fatwa Jihad 

Selain resolusi jihad fi sabilillah sebagaimana telah penulis kutipkan, berikut ini isi fatwa Jihad fisabilillah yang berbunyi: ”Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ’ain yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, Iaki-Iaki, perempuan, anak-anak, (bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak Iingkaran 94 km (masafatul qasr) jarak diperbolehkannya meng-qashar sholat dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di Iuar jarak Iingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja)”.

Fatwa Jihad fi Sabilillah itu mengguncang kota Surabaya. Mereka menerima Fatwa Jihad fi Sabilillah dari mulut ke mulut, dari surau ke surau, dari masjid ke masjid. 

Yang lebih mengejutkan, KH Hasyim Asy'ari bisa dikatakan satu-satunya kyai (ulama) yang berani ber- ijtihad berdasarkan masafatul qasr jarak dibolehkannya meng- qasar sholat sebagai dasar diwajibkannya jihad.

Selain mengeluarkan resolusi jihad dan Fatwa jihad , ternyata KH Hasyim Asy’ari, pemimpin besar NU dan pemimpin besar bangsa Indonesia ialah ketika beliau mengharamkan santri memakai pakaian yang menyerupai (tasyabuh) Belanda yang terbukti efektif menggerakkan perlawanan secara luas terhadap kolonial. Namun, fatwa tersebut hanya berlaku pada konteks saat itu, bagaimana Kiai Hasyim Asy’ari melihat propaganda Belanda melalui borjuisme kolonial lewat busana.

Gejolak revolusi saat itu dirasakan sebagai penderitaan luar biasa karena semua kegiatan sosial ekonomi terganggu termasuk aktivitas menjalankan ibadah haji bagi umat Islam.

Perjalanan haji terhenti akibat perang sehingga  tidak menjamin keamanan para jemaah calon haji. Melihat situasi itu, Gubernur Hindia-Belanda, Van der Plaas segera mengambil tindakan untuk menolong umat Islam. Belanda mengumumkan bagi yang  hendak melaksanakan ibadah haji disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanannya. Sekilas kebijakan tersebut nampak populis , tapi mengandung intrik politik untuk meraup simpati umat Islam Indonesia.

Di tengah kegairahan umat Islam untuk berhaji, tiba-tiba Rais Akbar NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat ini hukumnya haram. Inilah fatwa yang dianggap paling kontroversial dan paling berani sepanjang sejarah.

Ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat rukunnya terlengkapi. Sementara saat ini Indonesia dalam keadaan perang, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang kafir (Belanda), maka hukumnya haram dan hajinya tidak sah.

Fatwa itu  membuat umat Islam tertegun, tetapi bagaimana pun dengan hujjah nya yang kuat dan sesuai nalar, maka seberat apapun fatwa itu mesti ditaati, umat Islam banyak yang membatalkan perjalanan hajinya. Tentu saja hal itu dan membuat Belanda geram, bukan karena usaha pelayarannya tidak laku, tetapi lebih penting lagi usahanya gagal dalam mempengaruhi hati umat Islam agar tidak memihak pada republik pimpinan Soekarno-Hatta.

Sekali lagi, kepekaan KH Hasyim Asy’ari mampu menggerakkan perlawanan dan propaganda Belanda yang melakukan segala cara untuk menarik simpati umat Islam. Kiai Hasyim Asy’ari tahu bahwa tujuan Van der Plaas membantu umat Islam dalam menjalankan rukun Islam itu bukan untuk menolong, tetapi sebuah tipu muslihat untuk mengalihkan kesetiaan pada bangsa sendiri. Haji politis semacam itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang imam yang berpengaruh, maka fatwanya yang kontroversial itu tetap diikuti.

Selamat Hari Santri Nasional.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 23 Oktober 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.