Mengapa Melakukan Pembohongan

GEDUNG PTA OK

  

 

"Sebarkanlah kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai suatu kebenaran.” Inilah kata-kata yang sangat terkenal, diucapkan oleh seorang menteri propaganda era Nazi Jerman Joseph Gobbels.

Ini pula yang saat ini melanda di segala lini dalam tatanan kehidupan, demi mencapai kepentingan pribadi dan golongan, demi menjatuhkan kawan ataupun lawan, seolah sangat sulit untuk menapaki mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu isu pembohongan senantiasa relevan dan penting kita angkat pada tulisan pagi ini. Bukan untuk kita tiru akan tetapi untuk penyadaran kita betapa pembohongan berdampak sangat buruk dalam tatanan kehidupan.

Berbohong berlaku universal, tidak memandang anak-anak atau dewasa, baik orang jelata hingga tokoh agama atau pemimpin ternama. Dan, setiap orang pasti pernah melakukannya, sekecil atau dalam konteks apa pun. Terlebih di era sekarang, “Hidup adalah kebohongan, setengah kebenaran dan pengelakan. Kita hidup di zaman ketika kepercayaan adalah ‘mata uang’ yang sulit. Kita dibohongi setiap hari oleh media, pengiklan, pasangan, teman, rekan kerja, politisi,” tulis Stephen J Costello dalam bukunya The Truth About Lying.

Secara leksikal, menurut kamus daring Merriam Webster, bohong ( lie: kata benda) diartikan sebagai sebuah tindakan berbohong. Berbohong (kata kerja) memiliki arti (1) membuat pernyataan tidak benar dengan maksud menipu dan (2) membuat kesan salah atau menyesatkan.  Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring memaknai bohong sebagai (1) tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta dan (2) bukan yang sebenarnya; palsu.

Orang yang terbiasa berbohong, cenderung akan terus berbohong. Karena ia menganggap hal ini sebagai bentuk kewajaran, atau sebagai tindakan untuk menutup tindakan bohong sebelumnya Mirip halnya korupsi, awalnya kecil-kecilan, tidak ketahuan, dan menjadi biasa. Lama-lama, ia menjadi candu dan terbiasa, mewajarkan tindakan dirinya sendiri (rasionalisasi).

Orang melakukan pembohongan karena berbagai alasan, tergantung pada situasi, kebutuhan, dan motivasi mereka. Beberapa alasan umum meliputi:

Melindungi Diri Sendiri

Pembohongan sering dilakukan untuk menghindari konsekuensi negatif, seperti hukuman, rasa malu, atau kerugian.

Melindungi Orang Lain

Beberapa orang berbohong untuk melindungi perasaan atau reputasi orang lain, seperti memberikan jawaban yang menyenangkan meskipun tidak benar.

Kebohongan untuk menjaga perasaan orang lain sering disebut kebohongan putih (white lies) seperti, memuji ide seseorang padahal idenya kurang bagus. Dilakukan demi menjaga perasaan ewuh pakewuh, dalam budaya Jawa. Sayangnya, kebohongan putih ini tak sedikit dijadikan argumen para pembohong untuk mencari pembenaran.

Mencapai Keuntungan Pribadi

Orang mungkin berbohong untuk mendapatkan manfaat tertentu, seperti uang, kekuasaan, atau posisi sosial yang lebih baik.

Menghindari Konflik

Pembohongan bisa digunakan untuk meredam ketegangan atau menghindari konfrontasi langsung.

Meningkatkan Citra Diri

Ada yang berbohong untuk terlihat lebih baik di mata orang lain, baik secara sosial, profesional, maupun personal.

Kebiasaan atau Kompulsi

Beberapa individu berbohong karena sudah menjadi kebiasaan atau gangguan psikologis, seperti pseudologia fantastica(kebohongan patologis).

Memanipulasi Orang Lain

Pembohongan kadang digunakan untuk memengaruhi tindakan atau keputusan orang lain demi keuntungan pribadi.

Rasa Takut atau Ketakutan Akan Kebenaran

Ketakutan akan dampak dari kebenaran sering mendorong seseorang untuk berbohong, terutama jika kebenaran itu berisiko merugikan.

Hiburan atau Eksperimen Sosial

Dalam beberapa kasus, orang berbohong untuk bersenang-senang atau melihat bagaimana orang lain bereaksi.

Ketidaksengajaan atau Ketidakpahaman

Kadang, apa yang dianggap kebohongan sebenarnya adalah kesalahan atau informasi yang tidak benar karena kurangnya pemahaman.

Motivasi seseorang untuk berbohong sangat dipengaruhi oleh nilai, norma, dan tekanan sosial yang mereka alami.

Berbohong dalam Agama

Allah Subhanahu wa ta'ala sangat benci dengan orang yang berbohong. Sebab Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kejujuran. Bahkan, orang yang suka berdusta dan sering berbohong disebut sebagai mereka yang tidak beriman kepada-Nya.

Pengecualian dalam Dusta

"Kedustaan itu tidak halal kecuali pada tiga hal; seorang suami yang berbicara terhadap istrinya agar dia ridha padanya, kedustaan pada peperangan, dan kedustaan yang dilakukan dalam rangka untuk mendamaikan (sesama) manusia." (HR Tirmidzi Nomor 1862)

Dari hadits di atas, Islam memperbolehkan seseorang berbohong dalam tiga hal yakni:

1. Berbohong untuk menyenangkan istri.

2. Berbohong dalam peperangan untuk menyelamatkan nyawa orang.

Misalnya dalam perang membela agama, maka diperbolehkan mengeluarkan strategi untuk mengelabui musuh.

3. Berbohong untuk mendamaikan pihak yang berseteru.

Nabi Muhammad pernah kedatangan seseorang, menanyakan tentang ajaran Islam yang sederhana tetapi jika dijalankan akan menjadi selamat, baik di dunia maupun di akherat. Menurut riwayat, pertanyaan itu dijawab dengan jawaban sederhana, yaitu 'jangan berbohong'.

Sekali kita berbohong, itu bisa berisiko menimbulkan efek bola salju. Pasalnya, sering kali kita perlu menyiapkan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan kita sebelumnya. Oleh karena itu, jika kita berniat membuat kebohongan kecil sekali pun, cobalah urungkan hal tersebut. Bisa saja kebohongan tersebut membawa kita ke kebohongan lainnya yang lebih besar dan menimbulkan efek yang tidak terduga.

Akhirnya menurut penelitian, disimpulkan bahwa kebohongan dilakukan untuk memanipulasi orang lain demi mendapatkan yang diinginkan tanpa memerlukan kekerasan.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 16 Oktober 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.