Tantangan Penegakan Hukum vs Mafia Peradilan

Masih membekas rentetan peristiwa hukum setahun yang lalu kala Kejagung menangkap OTT tiga hakim PN Surabaya, lebih mencengangkan lagi saat diOTTnya mantan pejabat tinggi MA yang di rumahnya di temukan sejumlah uang hampir 1 T dan 51 kg batangan emas LM. Itu semua menggambarkan betapa penegakan hukum sering dinodai oleh aparatnya sendiri. Bahkan sering melibatkan antar penegak hukum itu sendiri. Oleh karena itu Ketua MA selalu mengingatkan kepada seluruh aparat peradilan untuk meningkatkan integritas dan tidak berperilaku transaksional. Penulis mengajak kepada kita sekalian untuk memahami tantangan penegakan hukum dan bahayanya mafiioso dalam peradilan.
Tantangan Penegakan Hukum
Tantangan dalam penegakan hukum (law enforcement) dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang menghambat atau mempersulit proses penegakan hukum.
Beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam penegakan hukum di Indonesia antara lain lemahnya substansi perundang-undangan, aparat penegak hukum yang tidak profesional dan defisit etika moral, serta keterbatasan sarana dan fasilitas.
Ada banyak tantangan dalam penegakan hukum tapi penulis hanya akan menyebutkan dua alasan saja agar tulisan ini tidak terlalu panjang.
Tantangan eksternal dalam penegakan hukum meliputi keterbatasan sarana hukum, perubahan sosial dan budaya, dan perubahan teknologi.
Tantangan internal dalam penegakan hukum meliputi korupsi, mafia peradilan, dan kurangnya kapasitas, kompetensi, integritas, dan komitmen dalam penegakan hukum.
Lebih khusus lagi penulis hanya akan fokus pada masalah mafia peradilan.
Istilah penegak hukum dulu dikenal ada catur wangsa(polisi, jaksa, hakim dan advokat) tapi sekarang menjadi panca wangsa lima unsur ditambah dengan masyarakat itu sendiri, yaitu masyarakat yang sadar hukum dengan mengedepankan legal culture (budaya hukum).
Dalam sistem peradilan dan hukum kita timbul judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion dalam diri aparat penegak hukum kita, khususnya para hakim, yang kemudian menimbulkan praktek-praktek mafia peradilan dalam lembaga hukum kita.
Modus operandi mafia peradilan ibarat transaksi jual-beli. Penjual pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, misalnya, adalah hakim yang memutus perkara dan pembeli adalah terdakwa yang membutuhkan putusan bebas.
Dalam praktek jual-beli kasus, posisi panitera, pegawai pengadilan, dan advokat adalah makelar perkara. Sebagai calo, mereka berfungsi sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli. Mereka mendapat komisi dari transaksi jual-beli.
Praktik mafia itu dilakukan dengan cara; pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis hakim favourable, calo perkara, pengaburan perkara, pemalsuan vonis, pemberian surat sakti, atau vonis yang tidak bisa dieksekusi.
Bila dilihat dari sejarahnya, mafia peradilan itu mulai menggeliat semenjak munculnya Orde Baru. Saat itu, lembaga hukum berada di dalam hegemoni kekuasaan. Sementara di sisi lain, kekuatan masyarakat sipil tak berdaya sama sekali.
Modus mafia peradilan menjangkau di setiap tingkat proses hukum. Mulai dari kepolisan, kejaksaan hingga di pengadilan.
Tidak hanya dalam kasus pidana namun gugatan perdata di tingkat pengadilan negeri, tingkat banding hingga tingkat kasasi, judicial corruption merajalela dengan bebas.
Tingkat kepolisian, modus yang sering digunakan oleh penyidik antara lain menghentikan proses penyidikan setelah terjadi negosiasi harga dengan tersangka, memanipulasi BAP agar dakwaan dapat meringankan tersangka, tidak membuat SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan).
Di tingkat kejaksaan, misalnya dalam kasus korupsi, calon tersangka dipanggil ke kejaksaan dan ditanya apakah kasusnya akan diteruskan atau tidak, kalau pada saat itu si calon tersangka bersedia membayar jumlah uang tertentu maka kasusnya tidak akan diteruskan.
Kemudian di tingkat pengadilan pidana, pihak terdakwa memberikan kompensasi tertentu pada pihak Jaksa Penuntut Umum agar dakwaannya dibuat kabur atau dibuat lemah sedemikian rupa agar dapat dieksepsi oleh pengacara terdakwa.
Hakim sengaja menunda putusan agar pihak terdakwa menemui hakim dan bernegosiasi untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan, biasanya putusan tergantung kemampuan pihak terdakwa untuk membayar.
Untuk kasus perdata, modus mafia peradilan sudah tampak sejak tahap awal pada proses administrasi hingga tahap persidangan.
Di tingkat pengadilan negeri, melalui panitera, pengacara menghubungi ketua PN untuk melakukan negosiasi penentuan majelis hakim yang akan menangani perkara kliennya. Hakim, melalui panitera menawarkan pilihan putusan sesuai keinginan para pihak dengan bayaran tertentu, di mana pihak yang bisa membayar lebih tinggi akan menentukan keputusan itu sesuai dengan keinginannya.
Di tingkat banding, panitera atau hakim menghubungi pihak yang mengajukan banding atau yang terbanding melalui pengacaranya masing-masing untuk melakukan penawaran-penawaran, di tingkat kasasi tak luput dari praktek mafia peradilan, modusnya antara lain bagian administrasi dengan cara yang sangat halus dan tidak vulgar meminta dana tambahan tanpa kwitansi kepada pihak yang mengajukan kasasi.
Sekretaris Jenderal atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan pada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka.
Dalam upaya mengatasi tantangan dalam penegakan hukum dan mafia peradilan, perlu dilakukan perbaikan melalui berbagai upaya, antara lain peningkatan sarana hukum, peningkatan kapasitas, kompetensi, integritas, dan komitmen dalam penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
Kita berharap pemerintah bersama unsur penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat) mampu memberantas praktik peradilan yang korup sebagaimana yang sering presiden utarakan dalam pidatonya yang akan menegakkan hukum dengan tegas dan keras.
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart
Jambi, 14 November 2025
Dr. Chazim Maksalina, M.H.
