Hukum, Keadilan dan Kepastian

Mengutip pendapat Gustav Radbruch, paling tidak terdapat tiga unsur utama dalam hukum, yaitu: keadilan (gerechtigheit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Ketiga unsur ini seringkali berada pada posisi konflik, terutama antara keadilan dan kepastian hukum.
Penegakan hukum sering dihadapkan pada tuntutan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun di sisi lain, penegakan hukum juga harus menjamin kepastian atas suatu persoalan hukum. Perdebatan antara dua kepentingan inilah yang disebut sebagai antinomi dalam hukum.
Sistem hukum tidak menghendaki adanya konflik antar unsur. Sistem hukum justru menjadi pemecah konflik melalui mekanisme yang secara umum terdapat dalam asas-asas hukum. Hal ini merupakan potret dari sifat mengatur dalam hukum yang menjadi penengah antara sifat individual dengan sifat kolegial manusia.
Dalam menegakkan keadilan, maka kepastian hukum akan terabaikan. Demikian juga dalam mewujudkan kepastian hukum, seringkali bertabrakan dengan keadilan.
Menurut Radbruch, keadilan dapat bersifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan bersifat normatif karena ia menjadi landasan moral dan tolak ukur terhadap sistem hukum positif, dan bersifat konstitutif sebab keadilan merupakan unsur mutlak suatu aturan dapat menjadi hukum. Sementara itu, Geny secara ekstrim menyebut bahwa keadilan merupakan satu-satunya tujuan hukum. Maka, hukum tidak memiliki arti apa-apa tanpa adanya keadilan. Pandangan ini kemudian ditolak oleh L.J. van Apeldoorn sebab terlalu mendewakan unsur keadilan dalam hukum.
Dalam perspektif hakim, suatu putusan harus dilandasi pada argumentasi hukum yang jelas berdasarkan undang-undang. Potret inilah yang dimaksud dalam pepatah lex dura sed tamen scripta yang berarti undang-undang (hukum) itu kejam, tetapi seperti itulah yang tertulis.
Kecenderungan terhadap pengutamaan kepastian hukum tidak terlepas dari tuntutan praksis bagi hakim untuk melaksanakan perintah undang-undang. Maka, tak syak lagi jika hakim terkadang disebut sebagai corong undang-undang.
Kita familiar dengan ujaran Fiat Justitia Ruat Coelum yang artinya hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh, kalimat ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Dalam praktisnya, sering keadilan terpinggirkan oleh kasus yang lain, contoh istri sah yang menganiaya pelakor, yang awalnya istri tersebut adalah korban namun kemudian menjadi tersangka penganiayaan, yang semula kasus perdata menjadi tindak pidana. Di sini ada rasa ketidakadilan hukum.
Memang benar, awalnya istri tersebut adalah korban, dikarenakan suaminya direbut oleh pelakor. Namun, tindakan istri tersebut menganiaya si pelakor tentunya telah melanggar Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, di mana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana baik pelanggaran atau kejahatan tetap harus diproses hukum. Dan di persidangan, terdakwa boleh menunjukkan dan memberikan keterangan serta mengajukan saksi-saksi yang meringankan terdakwa. Apabila memang terdakwa menunjukkan dan memberikan keterangan serta mengajukan saksi-saksi yang meringankan terdakwa. Apabila memang terdakwa telah melakukan tindak pidana, namun adanya alasan pembenar dan atau alasan pemaaf untuk melakukan tindak pidana tersebut maka seorang terdakwa bisa saja lepas dari jeratan hukum yang ada. Sepanjang terdakwa dapat meyakinkan Majelis Hakim bahwa dirinya tidak bersalah dalam suatu tindak pidana.
Keadilan dan kepastian hukum di Indonesia tidak dapat di kesampingkan di dalam perjalanan aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi hukum yaitu menegakkan hukum agar dapat dipertanggungjawabkan di dalam pengadilan.
Kesimpulannya, keadilan menjadi unsur yang paling utama yang harus terpenuhi dan tercapai dalam pengadilan. Setelah keadilan di dalam hukum tercapai maka kepastian hukum juga harus terlaksana sebagaimana mestinya. Kepastian hukum menjadi titik akhir dalam proses hukum. Setelah keadilan dan kepastian hukum tercapai maka pengadilan hukum akan membawa manfaat yang akan memberi dampak positif bagi masyarakat.
Akhirnya dalam menopang terwujudnya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum hakim harus memedomani dengan teguh, 10 kode etik pedoman perilaku hakim (KEPPH) adil, jujur, arif bijaksana, mandiri, integritas, tanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, disiplin, rendah hati dan profesional.
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart
Jambi, 11 November 2025
Dr. Chazim Maksalina, M.H.
