Penerapan Pasal Alasan Perceraian V

PERADILAN AGAMA

Dua alasan terakhir ini merupakan alasan perceraian yang ditambahkan dalam Kompilasi Hukum Islam. Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam). Tentang suami yang melanggar taklik talak, sebagaimana pendapat Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H. S.IP. M.Hum. dalam Mimbar Hukum No. 23 /VI/1995 halaman 68 s/d 90 pada pokoknya adalah:

Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam).

Adapun sighat taklik talak yang diucapkan sesudah akad nikah sebagai berikut: (dikutip dari buku Kutipan Akta Nikah Kantor Urusan Agama tahun 1989). Sesudah akad nikah, saya... bin…berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli istri saya bernama… binti… dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at agama Islam.

Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya:

Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,

Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu, Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya,

Kemudian istri saya tidak ridla dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) sebagai ‘ iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat untuk keperluan ibadah sosial.

Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam). Alasan perceraian angka 8 di atas sangat berlebihan ,yang seakan-akan suami atau istri atau salah satu darinya yang sudah murtad tetapi tidak menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga masih layak dipertahankan dan tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian karena masih rukun.

Pemahaman selanjutnya bahwa murtad yang dapat dijadikan alasan perceraian adalah murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Oleh karena itu jika ketentuan angka 8 dipegangi apa adanya maka akan timbul konsekuensi hukum yaitu:

Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam ikatan perkawinan sebagai suami istri, dengan suami atau istrinya yang murtad, jika rumah tangga mereka masih rukun. Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam ikatan perkawinan dikala mereka sama-sama murtad, karena mereka masih rukun.

Untuk angka 1 tersebut di atas, di sini dapat dijelaskan bahwa jika salah satu dari suami atau istri murtad, lalu salah salah satu suami atau istri mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama, maka jika mereka tidak terbukti bahwa rumah tangganya tidak rukun tetapi masih kumpul serumah dan bahagia bersama pasangannya meskipun alasan perceraian tentang murtad terbukti, konsekuensi hukumnya tentu Pengadilan Agama harus menolak gugatan perceraiannya, artinya mereka masih hidup sebagai suami istri meskipun salah satunya murtad. Sedangkan untuk angka 2 di atas penjelasannya sama dengan angka satu, yang membedakan adalah kedua belah pihak suami atau istri sama-sama menghendaki murtad dan rumah tangganya tetap rukun.

Oleh karena itu jika alasan nomor 8 tersebut (pasal 116 huruf h) akan dipertahankan apa adanya akan berdampak negatif bagi masyarakat Islam karena tidak tepat untuk diterapkan dalam kasus yang salah satu suami atau istri murtad, tetapi yang lebih tepat adalah diterapkan terhadap kasus yang suami istri yang sama-sama murtad.  

Akan tetapi kalau diterapkan pada kasus yang hanya salah satu dari suami atau istri yang murtad, maka lebih tepat kalimat yang berbunyi “ yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga, dihilangkan saja dari pasal 116 huruf h tersebut. Kalau pasal 116 huruf h tidak dihilangkan berarti akan bertentangan dengan pasal 40 huruf c maupun pasal 44 Kompilasi Hukum Islam . Isi pasal 40 huruf h tersebut, adalah larangan bagi pria yang beragama Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama Islam, demikian juga isi pasal 44 bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.  

Pemberlakuan pasal 40 huruf huruf c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam harus mendapat perhatian serius terutama pejabat yang melaksanakan perkawinan dan perceraian (Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama) harus mampu menerapkan pasal tersebut dalam melaksanakan tugas jabatannya.

Kompilasi Hukum Islam sangat menekankan adanya larangan pria Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama Islam atau sebaliknya wanita yang beragama Islam dilarang kawin dengan pria yang tidak beragama Islam. Sedangkan orang murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam, meskipun dahulunya beragama Islam, karenanya mengapa ada kalimat “yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga“ dicantumkan dalam pasal 116 huruf h tersebut.

Jadi di sini dapat dikatakan bahwa kalau salah satu dari suami atau istri murtad, maka tidak perlu lagi menunggu sampai rumah tangganya rukun atau tidak, karena pengakuan suami atau istri yang murtad sudah cukup menjadi alat bukti yang sempurna dan mengikat, karenanya hakim harus mengabulkan gugatan perceraian atas alasan peralihan agama atau murtad di antara salah satu pihak atau keduanya tersebut.

Kehendak pasal 40 huruf c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam tidak lain adalah untuk mencegah agar orang Islam tidak hidup sebagai suami istri dengan orang yang tidak beragama Islam, yang meskipun untuk mencegah agar orang Islam tidak hidup sebagai suami istri dengan orang yang tidak beragama Islam dapat ditempuh melalui lembaga pembatalan perkawinan.

Dengan menafsir pasal 75 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad, dan ternyata murtad sebagai alasan pembatalan perkawinan secara jelas dan tegas tidak dicantumkan dalam pasal 70, 71, maupun pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, semestinya dapat dicantumkan ke dalam salah satu pasal tentang pembatalan perkawinan tersebut.

Beberapa kasus yang masuk ke Pengadilan Agama di antara alasan perceraian salah satunya adalah murtad, terjadinya pacaran antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama terkadang menyebabkan salah satu pasangan menanggalkan agamanya demi cintanya untuk berusaha menjadikan pasangan itu sebagai istri atau suaminya, sehingga tatkala perkawinan telah dilangsungkan dan masing-masing telah menempuh kehidupan baru sebagai suami istri ternyata salah satu suami atau istri kembali ke agamanya semula (murtad) lalu menyebabkan salah satu pasangan itu kecewa dan mengambil langkah mengajuan perceraian dengan alasan murtad.  

Begitu telah terjadi perceraian, lagi-lagi yang menjadi korban adalah anak-anak dari perkawinan mereka yang masih kecil-kecil ada yang ikut ibunya , ada yang ikut bapaknya menjadi korban kemurtadan orang tuanya. Masalahnya belum selesai sampai di situ saja tetapi berlanjut hingga anak perempuannya mau menikah di mana anak perempuannya Islam sedangkan bapaknya non Islam. Otomatis bapak yang non Islam tak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya yang Islam.

Jadi kalau terjadi awal perbuatan yang tidak baik, maka kelanjutannya akan menjadi tidak baik seperti orang yang melangsungkan perkawinan yang dimulai dengan beda agama, lalu terjadi perkawinan itu dilaksanakan, biasanya perbuatan hukum yang demikian tidak akan bertahan lama dan biasanya salah satu pihak akan kembali ke agamanya semula.

Demikian juga setiap saat bisa saja terjadi konflik ideologis yang sewaktu-waktu akan terungkit dan meledak bagaikan bom waktu.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 19 Agustus 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.