Penerapan Pasal Alasan Perceraian IV

PERADILAN AGAMA

 

Telah kita bicarakan beberapa pasal alasan perceraian, berikut ini kita membahas alasan karena menjalani vonis hukuman pidana dan disfungsi kesehatan pasangan suami isteri. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung (penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf c UU.No. 1/1974, UU No. 16/2019 jo. Pasal 19 huruf (c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu dari suami/istri yang telah terbukti bersalah dan mendapatkan vonis 5 tahun penjara atau lebih, maka dapat disimpulkan di sini bahwa begitu salah satu pihak mendapat vonis hukuman penjara 5 tahun atau lebih dan vonis tersebut telah berkekuatan hukum tetap, terbuka kemungkinan salah satu pihak menjadikannya sebagai alasan perceraian tanpa perlu menunggu hukumannya dijalani selama lima tahun atau lebih tersebut.

Kemudian alasan perceraian no. 3 di atas diakhiri dengan kalimat setelah perkawinan berlangsung, ini mengandung pengertian bahwa hukuman penjara selama lima tahun atau lebih tersebut sekalipun suami istri masih pengantin baru dan hukuman belum dijalani tetapi ia sudah mendapatkan resmi salinan putusan dari Pengadilan yang memutusnya maka resmi salinan putusan tersebut dapat dijadikan alasan perceraian yang sekaligus dapat dijadikan sebagai alat bukti di sidang pengadilan.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain (penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf d UU.No. 1/1974, UU No. 16/2019 jo. Pasal 19 huruf (d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).

Alasan perceraian nomor 4 di atas , untuk mencermati dan memahaminya sepenuhnya diserahkan kepada hakim, hakim diberikan keleluasaan maupun kebebasannya dalam menginterpretasi maupun memberikan penilaian apakah suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak termasuk katagori membahayakan pihak lain atau tidak , bahkan hakim dalam urusan yang menyangkut rumah tangga yang berujung pada perceraian dengan alasan nomor 4 di atas dalam hal ini hakim dituntut sensitifitasnya dan menghubungkannya dengan ketentuan perundangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Salah satu contoh disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yaitu : setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.  

Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Kata Penelantaran sama sekali tidak disebut di dalam alasan perceraian akan tetapi pengaruh dari akibat penelantaran baik dilakukan suami atau istri akan berdampak buruk dan berujung perceraian .

Menurut R. Sugandi dalam buku KUHP dengan penjelasannya halaman 366 yang mengutip dari yurisprudensi, penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Menurut pengertian ini maka perbuatan yang dilakukan salah satu pihak suami/istri yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit berat atau luka berat dapat dikatagorikan sebagai penganiayaan berat, oleh karena undang-undang tidak menegaskan arti yang sesungguhnya dari kalimat penganiayaan berat tersebut maka hakim diberi keleluasaan untuk menilainya apakah perbuatan salah satu pihak itu termasuk penganiayaan berat atau tidak.

Menurutnya, yurisprudensi tampaknya membedakan rasa tidak enak dengan rasa sakit, tetapi mungkin yanag dikehendaki dengan sebutan rasa tidak enak yaitu perasaan hati atau sakit hati, sedangkan yang dikehendaki dengan sebutan rasa sakit yaitu sakit fisik. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa penganiayaan bisa berupa penganiayaan psyikhis dan penganiayaan fisik atau penganiayaan psyikhis saja atau fisik saja, atau kedua-duanya dan apalagi sakitnya dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisa suatu kasus layak untuk menggunakan dalil qiyas agar suatu kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain dalam hubungannya dengan sakit hati (psyikhis) ternyata banyak ragamnya mulai dari ejekan, hinaan, caci maki yang sangat keterlaluan (meskipun ejekan, hinaan, caci maki sulit untuk dibuktikan) akan tetapi mengakibatkan amat tertekan hatinya hingga mengalami stress bahakan stroke menimpa pihak lainnya, maka hal-hal yang demikian ini patut dikatagorikan sebagai penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain sebab stress berat dapat mengakibatkan kematian.

Tentang sakit fisik yang berat, seperti menendang, menempeleng, memukul, menusuk dengan senjata tajam yang menyebabkan luka parah, menyulut badan dengan api atau menjerat dengan tali yang menyebabkan pihak lain tidak berdaya, sehingga menimbulkan rasa sakit berat sekalipun tidak menyebabkan luka.

Jadi untuk mengukur dan menilai apakah perbuatan salah satu pihak itu membahayakan pihak lain atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim. Alasan perceraian sebagaimana diuraikan di atas hanya sebagai alat bantu yang harus bermuara kepada terjadinya tidak adanya harapan untuk rukun dalam rumah tangga.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf e UU.No. 1/1974, UU No.16/2019 jo. Pasal 19 huruf (e) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).

Kalau dicermati bunyi kalimat diatas akan segera tampak bahwa cacat badan atau penyakit itu baru bisa dijadikan alasan perceraian jika sudah membawa akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.  

Sebagaimana uraian dalam angka 4 di atas, di sini juga tersirat bahwa penyakit bisa berupa penyakit jasmani dan rohani (penyakit fisik dan mental) yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.

Seorang suami sehat jasmani tetapi punya kebiasaan buruk, malas bekerja atau sifat buruk lainnya yang mengakibatkan beban pekerjaan beralih kepada istrinya, ia mengandalkan penghasilan dari istrinya, sehingga suami tidak sedikitpun menghidupi istri untuk memberi nafkah kepadanya sehingga kewajiban untuk memberi nafkah kepada istri tidak terlaksana, maka malas dalam hal ini masuk katagori penyakit rohani yang membawa akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami.

Demikian juga jika perangai atau akhlaq istri sangat buruk yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri untuk berbakti lahir batin terhadap suaminya, maka hal demikian juga layak dikatagorikan sebagai penyakit rohani , karenanya dapat dijadikan sebagai alasan perceraian .

Adapun tentang salah satu pihak mendapat cacat badan , seperti suami atau istri yang mengalami kecelakaan sehingga salah satu tangan atau kakinya mengharuskan diamputasi sehingga menjadi cacat dan dengan diamputasi tersebut berakibat suami atau istri beakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri, maka dapat diajadikan sebagai alasan perceraian.  

Demikian juga termasuk penyakit berat lainnya atau gangguan fungsi alat kelamin, seperti inpotensi, stroke, gila, lumpuh, pendarahan terus menerus , kanker rahim, atau akibat de generative yang akut sehingga ginjal, jantung, dan sebagainya tidak berfungsi normal yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri maka dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 15 Agustus 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.