Harta Bersama Menurut Tata Aturan Perundangan

PERADILAN AGAMA

Penulis tertarik mengangkat topik harta bersama didasarkan pada tata aturan perundangan yang berlaku di peradilan agama. Kali ini kita akan meninjau dari tiga aturan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, konsep harta bersama diatur dalam Pasal 35 hingga Pasal 37, yang penjelasannya sebagai berikut:

1. Pengertian Harta Bersama

Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama." Artinya, bahwa harta yang didapatkan oleh suami atau istri selama pernikahan (dengan usaha bersama maupun sendiri-sendiri) dianggap sebagai milik bersama. Sedangkan pada

Pasal 35 ayat (2) menyatakan bahwa "Harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain." Pasal tersebut menjelaskan, bahwa harta bawaan (yang dimiliki sebelum menikah), hadiah , dan warisan adalah milik pribadi pihak yang bersangkutan.

2. Pembagian Harta Bersama

Pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa suami atau istri dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak. Hal ini mengatur bahwa harta bersama tidak dapat dikelola atau dipindahtangankan sepihak tanpa persetujuan pasangan. Sedang Pasal 37 mengatur tentang pembagian harta bersama jika terjadi perceraian. Harta bersama akan dibagi sesuai dengan hukum masing-masing, yakni, jika berdasarkan hukum Islam, pembagian mengikuti prinsip hukum Islam yang berlaku. Jika berdasarkan hukum adat atau hukum lain, pembagiannya mengikuti hukum tersebut.

Aturan pada undang-undang tersebut, di perjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Pasal 19 dan Pasal 20). Pasal 19 menyatakan dalam hal perceraian, pembagian harta bersama dilakukan sesuai kesepakatan antara suami dan istri. Jika tidak ada kesepakatan, penyelesaian dilakukan melalui pengadilan. Sedangkan Pasal 20, menjelaskan hak istri dan suami atas harta bersama setelah perceraian adalah sama, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Prinsip-Prinsip utama dalam harta bersama adalah kesetaraan suami dan istri. Harta bersama menjadi milik bersama, terlepas dari siapa yang bekerja atau memperoleh harta tersebut.

Prinsip keadilan dalam pembagian. Jika terjadi perceraian, pembagian harta bersama harus adil sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Prinsip penegasan

bahwa harta pribadi tidak terganggu. Termasuk harta Pribadi adalah harta bawaan, hadiah, atau warisan tidak termasuk dalam harta bersama.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), aturan mengenai harta bersama diatur dalam Pasal 85–97, yang mengatur prinsip-prinsip pembagian dan pengelolaan harta bersama, terutama dalam kasus perceraian.

Prinsip Harta Bersama dalam KHI

Kepemilikan Bersama; Pasal 85 menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Ini berarti, baik suami maupun istri memiliki hak yang sama atas harta tersebut.

Hak dan Kewajiban

Dalam Pasal 86 disebutkan bahwa suami dan istri masing-masing memiliki hak untuk mengelola harta bersama, tetapi penggunaannya harus didasarkan pada kesepakatan.

Harta Bawaan dan Hibah

Selanjutnya Pasal 87 menjelaskan bahwa harta bawaan (harta yang dimiliki sebelum menikah) dan harta yang diperoleh masing-masing suami atau istri melalui hibah atau warisan tidak termasuk dalam harta bersama, tetapi tetap menjadi milik pribadi.

Pembagian Harta Bersama

Jika terjadi perceraian, Pasal 97 mengatur bahwa harta bersama dibagi berdasarkan hukum agama, yaitu secara adil dan sesuai kesepakatan. Jika tidak ada kesepakatan, pembagian dilakukan dengan prinsip masing-masing memperoleh separuh bagian.

Kewenangan Pengelolaan

Meskipun suami biasanya dianggap sebagai kepala keluarga, KHI menegaskan bahwa hak pengelolaan harta bersama adalah tanggung jawab bersama, sehingga istri juga memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan terkait penggunaan harta tersebut.

Perspektif Hukum Islam

Prinsip harta bersama dalam KHI sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan kerja sama dalam kehidupan rumah tangga. Dalam praktiknya, pembagian harta bersama sering merujuk pada fiqh Islam atau adat yang berlaku, tergantung pada kesepakatan pasangan atau keputusan pengadilan.

Harta bersama dalam KHI bertujuan untuk melindungi hak-hak suami dan istri secara seimbang, baik dalam masa pernikahan maupun setelahnya, seperti dalam hal perceraian. Pemahaman dan pengelolaan harta bersama yang baik akan membantu menjaga keharmonisan keluarga sesuai prinsip-prinsip syariat Islam.

Selanjutnya, kita akan melihat harta bersama dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa harta bersama diatur sebagai bagian dari yurisdiksi pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa terkait perkawinan, termasuk harta bersama. Secara khusus, harta bersama mengacu pada harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, yang menjadi milik bersama suami dan istri.

Dasar hukumnya adalah Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa pengadilan agama berwenang menyelesaikan perkara di bidang:

   1. Perkawinan,

   2. Waris,

   3. Wasiat,

   4. Hibah,

   5. Wakaf,

   6. Zakat,

   7. Infaq.

   8. Shadaqah dan

   9. Ekonomi syari'ah

Termasuk dalam perkara perkawinan adalah sengketa pembagian harta bersama.

Prinsip Harta Bersama dalam Islam dan UU.

Perlu diketahui bahwa dalam fikih Islam klasik tidak dikenal harta gono gini (harta bersama). Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fikih terdahulu para ulama. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan budaya atau adat istiadat yang persoalan hukumnya belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena masalah ini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern dan mungkin dikarenakan juga orang Islam di zaman terdahulu tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri, harta istri adalah harta istri dan harta suami adalah harta suami, jelas porsi harta mereka berdua. Bahkan jika terjadi perceraian, maka harus dilihat siapa pemilik hartanya.

Berbeda dengan harta gono gini atau harta bersama dalam peraturan perundangan. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama, kecuali jika ada perjanjian perkawinan yang menyatakan sebaliknya.

Hak atas harta bersama

Baik suami maupun istri memiliki hak yang sama atas harta bersama, tanpa memandang siapa yang menghasilkan harta tersebut. Jika terjadi perceraian, pengadilan agama akan memutuskan pembagian harta bersama berdasarkan asas keadilan dan keseimbangan.

Harta yang dimiliki sebelum pernikahan, hibah, atau warisan tidak termasuk dalam harta bersama, kecuali dinyatakan secara tegas sebagai harta bersama.

Kita mengetahui UU Nomor 7 Tahun 1989, telah mengalami dua kaki amandemen, yaitu perubahan pertama dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 yang dalam Pasal 49 menambah kewenangan ekonomi syari'ah dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009. Meskipun ada perubahan, pengaturan harta bersama tetap berada dalam lingkup kewenangan pengadilan agama.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 11 Agustus 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.