Batasan Kabul Ex Aequo et Bono
Setiap kita baca gugatan di akhir tuntutannya selalu mencantumkan kalimat Latin ex aequo et bono. Secara harfiah, arti ex aequo et bono adalah sesuai dengan apa yang dianggap benar dan baik. Atau biasanya dituliskan "atau apabila hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya", ex aequo et bono dicantumkan dalam bagian petitum atau hal yang dimintakan pihak kepada hakim. Banyak yang menganggap bahwa kalimat ini adalah sapu jagat, artinya apabila ada hal yang luput atau lupa dimintakan para pihak di dalam gugatan, maka dengan adanya ex aequo et bono membuka kesempatan kepada hakim untuk melengkapinya, jika dianggap benar dan baik.
Sebagai hakim kita tidak boleh mengartikan seluas-luasnya, akan tetapi ada batasan-batasan tertentu yang harus dipedomani. Ada hal-hal yang harus diperhatikan hakim dalam mengabulkan permintaan ini, baik itu peraturan maupun asas hukum yang berlaku dalam hukum acara perdata.
Ex aequo et bono menurut Yahya Harahap merupakan bagian dari petitum yang bersifat subsider atau pelengkap. Bagi pencari keadilan, apabila dalam tuntutan primer tidak bisa dikabulkan, setidaknya hakim dapat mempertimbangkan dalam tuntutan subsider.
Berikut beberapa batasan yang harus diperhatikan para hakim jika ingin mengabulkan gugatan dengan dasar ex aequo et bono antara lain:
1. Harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan;
2. Masih berada dalam kerangka jiwa petitum primer dan dalil gugatan;
3. Tidak melanggar asas ultra petita berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR;
4. Tidak boleh sampai berakibat merugikan tergugat melakukan pembelaan kepentingannya.
Kita mencoba satu persatu untuk memahaminya dengan mengacu praktik persidangan dalam putusan hakim dan yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Kelayakan atau Kepatutan
Patut atau layak menjadi batasan yang harus dipertimbangkan oleh hakim dan dapat diukur dengan baik. Banyak contoh kasus di mana hakim mengabulkan suatu gugatan dengan bersandar pada nilai kepatutan. Praktik paling sering adalah pada perubahan jumlah gugatan. Contoh Putusan MA No. 3917 K/Pdt/1986, yaitu majelis hakim mengubah nilai denda dalam gugatan yang dianggap terlalu tinggi sehingga tidak patut dalam perjanjian pada umumnya (Yurisp. MA hal. 7).
Kemudian praktik lain adalah perubahan nilai bunga yang dianggap hakim tidak patut jika dikaitkan dengan praktik pinjam meminjam secara umum dan kemampuan dari tergugat itu sendiri. Misalnya dalam Putusan MA No. 3431 K/Pdt/1985, yaitu nilai bunga yang ditetapkan dalam perjanjian pinjam meminjam adalah 10%. Hakim kemudian secara ex aequo et bono menetapkan bahwa bunga yang patut dan adil adalah 1% per bulan (Yurisp. MA hal. 4).
Masih Berada dalam Kerangka Petitum Primer dan Dalil Gugatan
Putusan MA No. 556 K/Sip/1971 membatasi prinsip ex aequo et bono. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan penggugat, kecuali masih dalam berkaitan langsung dengan fakta-fakta yang diajukan dalam perkara atau lingkup peristiwa yang diajukan dalam gugatan. Di dalam gugatan mengenai kedai kopi yang diputus oleh Pengadilan Negeri Aceh pada tahun 1967, penggugat di dalam gugatan aslinya meminta agar “tergugat dihukum menyerahkan kembali semua harta-harta tersebut di atas kepada penggugat” (Yurisp. MA h.495). Namun hakim mengabulkan dengan merinci benda-benda yang harus dikembalikan mulai dari sebuah kedai kopi, alat-alat lengkap berjualan, satu radio transistor sampai satu cincin Batu Alexander Mas 1 ½ mayam bernilai Rp900 (Yurisp. MA hal. 495 – 496). Barang-barang yang disebutkan dalam putusan tingkat pertama tersebut tidak diminta oleh penggugat dalam petitum, namun sempat disinggung dalam posita gugatannya. Hal ini menurut hakim kasasi dibolehkan karena berdasarkan yurisprudensi, mengabulkan hal yang lebih dari pada yang digugat tetapi masih sesuai dengan kejadian materiel adalah diizinkan (Yurisp. MA hal. 497).
Tidak Ultra Petita Sesuai Pasal 178 ayat (3)/Pasal 189 ayat (3) RBg.
Pasal 178 ayat (3) HIR atau Pasal 189 ayat (3) RBg menjelaskan bahwa hakim tidak boleh memberikan (mengabulkan) lebih dari pada yang digugat. Namun dalam memaknai ketentuan tersebut kita tidak boleh lepas dari ketentuan pada Pasal 178 ayat (1) HIR/Pasal 189 ayat (1) RBg yang menegaskan hakim karena jabatannya waktu bermusyawarah wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
Dengan memperhatikan ketentuan dan praktik yang selama ini dilakukan di persidangan, ada benang merah yang dapat kita tarik agar tidak terjadi ultra petita selain dua batas yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu ada ketentuan hukum yang mengharuskan hakim mengabulkan hal tersebut.
Contohnya dalam permohonan perubahan nama sesuai Pasal 52 ayat (1) UU Adminduk. Pemohon sering tidak memasukkan dalam petitumnya mengenai kewajiban pelaporan selama 30 hari setelah penetapan diterima. Namun karena hal tersebut adalah kewajiban berdasarkan Pasal 52 ayat (2) UU Adminduk maka hakim harus menambahkan kewajiban ini di dalam petitum putusan walaupun tidak diminta oleh pihak, sebab hal ini adalah kewajiban hakim untuk mencukupkan alasan hukum atau dasar hukum yang belum dikemukakan para pihak dalam gugatannya, sesuai Pasal 178 ayat (1) HIR.
Tidak Merugikan Pihak Tergugat dalam Kepentingan Pembelaannya
Dalam Putusan MA No. 803 K/Sip/1973 memberikan kita rambu lain dalam mengabulkan ex aequo et bono yakni ketika mengadili suatu gugatan yang di dalamnya terkandung tuntutan “subsidair” yang bermaksud minta supaya hakim mengadili menurut keadilan yang baik (naar goede justitie recht doen), hendaklah dilakukan sedemikian rupa sehingga di satu pihak tidak dilanggar ketentuan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, sedang di pihak lain tidak dirugikan pihak lawan dalam melakukan pembelaan. Contoh paling sederhana adalah menyatakan alat bukti dari tergugat menjadi tidak sah atau tidak bisa digunakan padahal tidak dimintakan dalam gugatan.
Oleh sebab itu, jika hakim hendak mengabulkan sebuah gugatan dengan mengacu petitum subsider ex aequo et bono maka setidaknya harus memperhatikan empat rambu-rambu di atas. Hal ini penting agar putusan hakim tidak dianggap melanggar ketentuan yang berlaku dalam hukum acara perdata.
Dirangkum dari undang-undang, yurisprudensi MA, buku dan majalah digital.
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli wa sallim 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi, salam sehat
Jambi, 10 Juli 2025
Dr. Chazim Maksalina, M.H.
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas